Kisah 3 Pejabat yang Jujur Di Indonesia

Pejabat ialah orang yang berdasi
Prolog
Saat ini, menemukan sosok pejabat negara yang jauh dari isu suap, wanita, dan kekuasaan, bagaikan mencari jarum dalam jerami, susahnya bukan main. Setiap kita mendengar pemberitaan mereka di media massa, isinya berputar-putar pada masalah skandal seks, skandal korupsi, konsumsi obat terlarang, dan skandal-skandal memalukan lainnya. Terbaru, adalah beredarnya foto-foto mesra pasangan bupati dan wakil bupati Pekalongan. Saya yakin di kompasiana sudah ada yang mempublikasikan kisahnya.
Namun, di balik itu semua, masih ada secercah harapan dan teladan bagi semua pejabat yang mengemban amanah rakyat. Seandainya mereka sadar bahwa jabatan hanya titipan sementara yang suatu saat akan diambil pemiliknya, kemudian memahami bahwa itu adalah amanah yang amat berat yang akan diminta pertanggungjawaban kelak, saya kira tidak akan ada pejabat negara yang tersandung skandal-skandal memalukan tersebut.
Mudah-mudahan, kisah-kisah berikut sedikit bisa menumbuhkan rasa optimis kita akan adanya sosok pejabat negara yang bersih, jujur, dan lurus serta benar-benar mengemban amanah yang kita titipkan kepadanya. Saya kutip dari majalah ESQ Nebula edisi No. 05/Thn III/April 2007 dan buku laris Helvy Tiana Rosa, Bukan di Negeri Dongeng.
Semoga bermanfaat.

  • Bung Hatta dan kisah sepatu Bally yang tak terbeli


Bapak Koperasi Indonesia
Sulit membayangkan, istri seorang wakil presiden harus menyisihkan uang pemberian suaminya, hanya untuk membeli mesin jahit. Namun, itulah yang dilakukan Bu Rahmi. Istri wakil presiden pertama Indonesia, Muhammad Hatta itu setiap hari menyisihkan sebagian gaji suaminya sebagai orang nomor dua negeri ini pada waktu itu.

Ia hampir gagal mewujudkan impiannya ketika tiba-tiba pemerintah mengeluarkan kebijakan sanering (pemotongan uang) yakni nilai uang Rp. 100,- menjadi Rp. 1,- guna menekan inflasi. Nilai tabungannya menurun, tak mencukupi untuk membeli mesin jahit. Bu Rahmi lantas bertanya kepada suaminya, “Lho kok dari kemarin tidak bilang kalau ada sanering?”

Dengan enteng Bung Hatta menjawab, “Itu rahasia negara, jadi tidak boleh diberi tahu”. Meskipun Sang Proklamator mengetahui kesusahan istrinya, ia tidak bicara sedikit pun jika menyangkut rahasia negara.

Seperti istrinya, pemimpin sederhana kelahiran Bukittinggi, 12 Agustus 1902 itu pun punya mimpi yang tidak terbeli hingga akhir hayatnya, sepasang sepatu Bally.

Bally adalah sebuah merk sepatu terkenal dan mahal pada waktu itu. Pada tahun 1950-an, Bung Hatta berminat pada sepatu itu. Ia menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya. Ia menabung dari waktu ke waktu untuk dapat membeli sepatu idaman tersebut. Namun, uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi. Tabungannya selalu terambil untuk keperluan rumah tangga dan membantu saudaranya.

Hingga wafatnya, sepatu itu tidak pernah terbeli, karena memang tabungannya tidak pernah mencukupi unuk membeli sepatu Bally. Sementara, guntingan iklan sepatu itu masih tersimpan saat ia wafat. Tak heran jika jutaan orang menangisi kepergiannya, seperti lirik lagu yang dinyanyikan Iwan Fals :

“Hujan air mata dari pelosok negeri, saat melepas Engkau pergi…berjuta kepala tertunduk haru…”

 
  • Hoegeng Iman Santosa dan kisah polisi tidur

Sebuah anekdot beredar di masyarakat, termasuk pernah disampaikan alm. Gus Dur seperti dalam acara Kick Andy beberapa waktu lalu. Seorang lelaki bertanya kepada temannya, “Adakah polisi yang tidak bisa disuap?”. Temannya berbisik, “Ada, tapi cuma dua. Yakni Pak Hoegeng dan polisi tidur.” Sinis memang, namun lelucon ini menggambarkan dengan baik siapa sosok Kapolri era 1968-1971 ini, Hoegeng Iman Santosa.

Penggagas Helm
Pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, 14 Oktober 1921 ini dikenal sebagai seorang polisi jujur, bahkan hingga menduduki pangkat tertinggi di institusinya. Kasus paling fenomenal adalah saat lulusan pertama Akademi Kepolisian (1952) itu membongkar kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It.

Penyelundupan ini dideteksi polisi tahun 1969. Pada September 1971, Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang keberhasilannya membekuk penyelundupan mobil mewah lewat pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan ke wilayah Indonesia dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien Soeharto terlibat pula.

Bukan pujian yang didapatnya, melainkan pemecatan dirinya sebagai Kapolri pada tahun itu juga. Sebelumnya, Hoegeng mendapa tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M. Panggabean.

Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH, diceritakan Hoegeng dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana Mas, mengenai soal Dubes itu?” tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi dubes, Pak. Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima. Presiden berkata, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng”. Saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja”. Mendengar itu, ia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit.

Kejujuran yang dijunjung tinggi, membuat Hoegeng tidak takut pada siapa pun. Pernah, saat memimpin operasi antikebut-kebutan di sekitar Taman Soerapati, Menteng, Jakarta, pada awal 1970-an, Hoegeng berkata kepada anak buahnya. “Tangkap saja anak-anak muda yang nakal itu! Kalau bapaknya sok ikut campur, nanti saya yang akan hadapi sendiri!”

Jauh sebelum itu, kejujuran mantan Menteri Negara Urusan Iuran dalam Kabinet Seratus Menteri itu diuji saat ditempatkan di Sumatera Utara. Ketika itu, ia diangkat sebagai Kepala Reserse dan Kriminal (Reskrim) di Medan yang terkenal sebagai tempat pedagang Tionghoa yang hobi menyuap pejabat. Namun, Hoegeng tidak bisa disuap. Rayuan wanita cantik, dunia judi, uang, tidak kuasa menjebol benteng kejujurannya.

“Dia teladan,” ucap Ali Sadikin singkat mengomentari sosok kapolri yang pertama menganjurkan helm keselamatan untuk pengendara motor itu. Komentar senada dilontarkan tokoh Hak Asasi Manusia, Dr. Adnan Buyung Nasution. “Dia seorang yang berjuang tanpa pamrih. Perbuatannya patut diteladani.”

Mantan Kapolda Metro Jaya era Orde Baru, Mayjen (Pol) Drs. Moch Hindarto berucap, “Hoegeng memang polisi yang lurus dan jujur. Ia tidak suka kalau ada polisi yang neko-neko. Jika dapat laporan masyarakat tentang polisi yang melakukan pungli, beliau langsung memanggil polisi bersangkutan.” Ketika Hoegeng jadi Kapolri, Hindarto masih berstatus mahasiswa PTIK.

Rabu 14 Juli 2004, Hoegeng meninggal dunia dan dimakamkan di Parung, Bogor. Sampai sekarang, ingatan orang akan polisi jujur, maka mereka sepakat hanya menunjuk sosok Hoegeng ini. Jadi, jika ada yang bertanya siapa polisi yang tidak bisa disuap, mungkinkah tinggal polisi tidur? Kita harus optimis, masih banyak polisi yang jujur, hanya tidak terekspos saja, karena jumlahnya sedkit sekali.

 
  • Zubair Syafawi dan kisah rezeki milik siapa

Penulis Izzatul Jannah menuturkan langsung dari istri seorang pejabat negara yang cukup disegani di Jawa Tengah, seperti saya kutip dari kumpulan kisah-kisah pejabat dalam buku “Bukan di Negeri Dongeng.”

Inilah ceritanya.

Sosoknya tinggi besar, ada bekas sujud pada keningnya. Gaya bicara yang lembut tetapi tegas adalah ciri yang melekat padanya. Mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia) wilayah Jawa Tengah ini sudah berdakwah sejak remaja. Sosoknya yang sederhana, gampang belas kasih pada

kaum dhuafa adalah sosok istimewa di tengah-tengah gemerlapnya fasilitas anggota Dewan.

Ya, Pak Zubair Syafawi pernah menjadi anggota legislatif DPRD I Jawa Tengah dari Partai Keadilan periode 1999-2004 dan anggota DPR RI dari fraksi Partai Keadilan Sosial periode 2004-2009. Beliau juga pernah dicalonkan menjadi gubernur/wakil gubernur Jawa Tengah. Dan, beliaulah calon Gub-Wagub yang memiliki harta paling sedikit? Aset kepemilikan beliau ketika dihitung hanya sejumlah 20 juta! Tidak lebih! Masya Allah.


Bersama rekan sejawat.Saya tergugu mendengarnya. Karena kebetulan saya dekat dengan keluarga beliau, saya tahu Pak Zubair dan Bu Dyah adalah sepasang suami-istri tangguh yang telah bertekad menginfakkan seluruh hidupnya untuk dakwah Islam dan tidak sedikit pun hendak mengambil rezeki lebih dari jalan dakwah yang beliau pilih.

Berputra hampir enam, rumah masih kontrak di daerah pemukiman padat, tidak memiliki kursi tamu sehingga setiap tamu diterima dengan lesehan, tidak memiliki kendaraan pribadi sehingga pergi kemanapun -termasuk ke kantor DPRD- memakai angkutan umum. Dan tahukan anda bahwa Pak Zubair hanya mengambil gaji dari Dewan secukupnya dan selebihnya selalu di berikan pada bendahara partai?

Ini adalah sepenggal kisah yang saya dengar sendiri dari istri beliau, Ibu Dyah Rahmawati, sepanjang perjalanan di wilayah barat Jawa Tengah.

“Bu Dyah, ceritakan pada saya tentang kemanfaatan harta duniawi,” pinta saya pada beliau.

Beliau tersenyum sambil memandang mata saya,”Harta duniawi itu kemanfaatannya tergantung pada kita. Kemanfaatannya terbagi menjadi tiga. Yang paling rendah adalah hisbusyaithan (jalan

syetan), yaitu ketika kita tabsyir (menyia-nyiakan harta, bermegah-megah, dan melupakan dhuafa).

Tingkat berikutnya adalah intifa’ (kemanfaatan), yakni ketika kita memiliki harta dan kemanfaatannya dirasakan oleh kita, keluarga sekaligus umat. Contohnya bila kamu punya mobil,” katanya pada saya, “maka itu intifa’ ketika bermanfaat tidak hanya untuk diri dan keluarga tetapi juga untuk dakwah. Nah, yang tertinggi itu fi sabilillah, yakni seluruhnya untuk dakwah, kita mengambil secukupnya saja, sekadarnya”.

“Jadi ibu tidak pernah menabung? Untuk pesiapan sekolah anak-anak, misalnya?” tanya saya gelisah. Beliau hanya tertawa. Saya menyaksikan sendiri bahwa visi itu tidak sekedar visi, tetapi telah menjadi karakter pada diri beliau berdua. Suatu saat pak Zubair mendapatkan rezeki yang banyak, lebih dari kebutuhan sehari-hari keluarga mereka. Maka, beliau meletakkan rezeki itu di atas meja.

“Pak mengapa uang begitu banyak di letakkan begitu saja di meja?” tanya Bu Dyah.

“Itu bukan rezeki kita Bu. Semoga nanti diambil oelh pemiliknya,” kata Pak Zubair tenang. Beliau melanjutkan kesibukannya, demikian pula Bu Dyah yang telah cukup dengan keterangan Pak Zubair.

Maka ketika hari belum menjelang siang, datanglah tetangga Pak Zubair, seorang pengemudi becak. “Assalamualaikum! Pak Zubair…, tolong… tolong… saya, Pak…!”

“Waalaikumussalam… monggo, pak…, lenggah rumiyen. Apa yg bisa dibantu, Pak?”

“Saya … tidak punya uang untuk menebus anak saya dari rumah sakit, Pak”.

Masih dengan senyum menenangkan, Pak Zubair mengambil uang yang sedari pagi tergeletak di atas meja. Utuh dalam amplopnya. “Yang empunya rezeki sudah mengambil haknya, Bu,” bisik Pak Zubair pada Bu Dyah.

 


Epilog

Pertanyaan selanjutnya adalah adakah sosok-sosok pejabat negara yang setara dengan mereka yang saya sebutkan di atas? Sederhana, jujur, lurus, bersih dari skandal, dan tidak neko-neko istilah orang Jawanya. Jawabnya dapat dicari di sekitar kita, meskipun susah saya yakin masih ada sosok pejabat negara seperti itu. Sekedar gambaran barangkali, sosok wakil presiden NKRI saat ini yang juga penggagas “ekonomi kerakyatan” (lihat tulisan Sosok Boediono Yang Belum Diketahui Banyak Orang atau Prof. Dr. Boediono : Pejabat Tinggi Paling Sederhana di Indonesia) bisa dijadikan contoh seorang pejabat yang jauh dari kesan hidup mewah di rumah besar, dikelilingi wanita-wanita cantik, bergelimang harta dunia, dan dipenuhi dengan skandal-skandal memalukan. Rumahnya yang mungil mungkin bisa dijadikan patokan bagaimana kehidupan sehari-harinya.

Harta seorang wakil presiden NKRI dan mantan Gubernur Bank Indonesia, kini tercatat sekitar Rp. 25 milyar hasil dari 30 tahun berkarya bersama istri tercintanya, Herawati, yang sama-sama menjadi guru besar Universitas Gajah Mada (UGM) sebelum berkarier sebagai pejabat publik, setara dengan jumlah harta hibah Hadi Purnomo selama menjabat sebagai Dirjen Pajak saja, yang kini menjabat sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lihat atau ini. Hasil audit institusinya yang pada akhirnya menjadi pijakan penggagas Hak Angket Pansus Bank Century dan kini tengah mengancam jabatan Wakil Presiden bersama Menteri Keuangan saat ini.

Rumah pribadi wakil presiden dan penggagas "ekonomi kerakyatan", Boediono Berbicara mengenai dendam pejabat, saya jadi teringat cerita waktu Menteri Keuangan yang baru dilantik bersalaman dengan Dirjen Pajak waktu itu. Sambil bercanda, Menkeu baru itu nyeletuk, “Oh ini ya orang kuat di Departemen Keuangan, orang kepercayaan presiden sebelumnya. Mari kita lihat Pak Hadi, siapa yang lebih kuat di sini.” Jika Hadi Purnomo dilengserkan Menkeu tahun 2006, setahun sebelum masa pensiunnya, kini empat tahun kemudian, giliran laporan auditnya yang dijadikan dasar melengserkan Sri Mulyani Indrawati.

Seandainya nanti Boediono jadi diturunkan dari jabatannya pasca keputusan akhir sidang Pansus Bank Century, setidaknya dia telah menambah daftar pejabat negara Indonesia yang sepi dari hingar-bingar kemewahan hidup layaknya pejabat-pejabat lain. Terlepas dari kebijakan-kebijakannya selama ini, kebijakan makro yang memang keahliannya, barangkali Boediono bisa menjadi obat penawar kesederhanaan di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang belum makmur seluruhnya. Semoga saja! 




0 Response to "Kisah 3 Pejabat yang Jujur Di Indonesia"

Post a Comment